Oleh Ismail Hashim Yahaya
Mutakhir ini politik negara selalu memperlihatkan wajahnya yang bersimpang siur dengan permainan wajah yang mengelirukan; suatu wajah politik ganda: terdapat wajah arif bijaksana sekaligus memperlihatkan kelicikan di sebaliknya; wajah yang luhur sekaligus menyimpan kedustaan, wajah jujur sekaligus penuh tipu daya; wajah humanis sekaligus tersimpan tindak laku kebatilan yang tidak berperi kemanusiaan; wajah bermoral sekaligus tersimpan sama kelakuan hina yang tidak bermoral.
Oleh itu jangan terkejut jika politik akan tampil dengan wajah mengerikan, ketika ia dibangun oleh aktor-aktor yang penuh akal busuk, fikiran kotor, rencana jahat yang membangunkan senario menakutkan, sifat rakus, dan hasrat tidak terbendung.
Akan tetapi politik juga dapat tampil dengan wajah mencerahkan ketika ia dibangun oleh aktor-aktor yang cintakan perdamaian dan kesentosaan, penuh pangabdian, keluhuran cita, kesucian jiwa, kerendahan hati dan kesederhanaan hidup.
Namun akhir-akhir ini apa yang kita lihat di panggung atau pentas persada tanah air ialah wajah politik yang buruk rupa, penuh tipu daya, sarat kepalsuan, dan kaya manipulasi.Oleh itu jangan terkejut jika politik akan tampil dengan wajah mengerikan, ketika ia dibangun oleh aktor-aktor yang penuh akal busuk, fikiran kotor, rencana jahat yang membangunkan senario menakutkan, sifat rakus, dan hasrat tidak terbendung.
Akan tetapi politik juga dapat tampil dengan wajah mencerahkan ketika ia dibangun oleh aktor-aktor yang cintakan perdamaian dan kesentosaan, penuh pangabdian, keluhuran cita, kesucian jiwa, kerendahan hati dan kesederhanaan hidup.
Di dalam situasi yang dipenuhi dengan berganda strategi, intrik, jebakan dan perangkap, politik dan politikus tampil dengan wajah yang penuh kekaburan atau melankolik, abstrak, ironi dan tragedi; di samping tekanan, pemaksaan dan penindasan pemalsuan, kesemuan dan simulasi.
Tidak saja ruang-ruang politik dipenuhi oleh berbagai kekerasan fisik yang mencirikan sifat kebuasan atau kebinatangannya akan tetapi juga berbagai kekerasan pada tingkat bahasa dan simbol-simbol politik.
Lagi membimbangkan ialah berkembangnya wacana politik citra di tanah air, politik penuh angan-angan yang diterjemah ke dalam pelbagai wahana yang seolah-olah sebagai suatu jaminan kemenangan bagi pelanggenan kuasa,.
Pada masa yang sama akan berubah pula pandangan moral di dalam masyarakat kita. Apa yang kita saksikan sejak tiga dekad yang lalu hingga kini adalah semakin kaburnya batas-batas moral. Kini, apa pun tidak dapat lagi kita lihat dari kacamata moral yang biasa.
Apa berkembang di dalam masyarakat sekarang kita adalah apa yang disebut George Bataile di dalam bukunya Literature and Evil sebagai hipermoraliti iaitu suatu keadaan di mana ukuran-ukuran moraliti yang ada tidak dapat dipegang lagi atau dijadikan ukuran lagi kerana situasi yang berkembang telah melampaui batas-batas Good and Evil (baik/buruk, benar/salah, bagus/buruk, halal/haram, atau sunah atau mubah sekalipun.
Apa yang membimbangkan dari kaburnya batas-batas moral tersebut,telah menggiring masyarakat kita ke arah krisis moral dan lebih buruk lagi mencetuskan krisis legitimasi moral terhadap penguasa yang dijelaskan Jurgen Habermas di dalam bukunya Legitimation Crisis.
Tidak keterlaluan negara kita sekarang sedang berhadapan dengan krisis kesahan atau legitimasi (moral). Tingkah laku penguasa yang diperlihatkan sebilangan rakyat dianggap sering mempertontonkan tindakan-tindakan melanggar moral ini.
Harus diadakan gerakan “pembersihan” total dari nilai-nilai tidak berakhlak yang tidak dapat dihindarkan lagi kerana nilai-nilai tersebut dianggap telah diputar belitkan atau dicemari oleh tangan-tangan penguasa.
Terdapat anggapan bahawa lembaga pengadilan tidak punya lagi kesahan untuk menyelesaikan pelbagai persoalan undang-undang dan keadilan. Oleh itu kita bimbang masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri, disebabkan sikap apati yang muncul terhadap undang-undang.
Julia Kristeva menggambarkan moraliti seperti ini dengan istilah abjeksi moral iaitu suatu keadaan individu atau masyarakat yang tenggelam ke dalam jurang akhlak yang paling rendah, iaitu ketika lenyapnya batas-batas moral itu sendiri (baik/buruk, benar/salah, bagus/jelek, halal/haram, dan sebagainya).
Nilai-nilai moral yang kelik kelap atau semu itu muncul di sana sini atas kepentingan-kepentingan tertentu; melahir dan menciptakan kesamaran moral: kritikan atau suara rakyat yang disambut senyum bernada sinis, keganasan simbol atau fisik yang bertopeng keamanan, pemerkosaan hak rakyat yang diberi emblem-emblem semangat cinta bangsa atau negara atau kejahatan sempurna yang ditutup dengan selubung kepahlawanan
Abjeksi moral adalah suatu situasi dimana undang-undang boleh saja dipermainkan, diputarbelik, diparodi, didistorsi serta dilencongkan arahnya untuk kepentingan pelanggengan kekuasaan.
Permainan keadilan tersebut menyebabkan kepercayaan rakyat yang semakin pudar itu menjadi semakin lenyap. Dalam keadaan yang demikian, kita bimbang apa pun yang dikatakan, direncanakan dan dilakukan oleh pemerintah tidak lagi dipercayai oleh masyarakat:
Kerisauan misalnya terhadap ketidakpercayaan terhadap lembaga pengadilan yang dianggap tidak dapat memisahkan antara benar/salah, ketidakpercayaan terhadap lembaga keamanan yang dianggap tidak dapat memisahkan kebaikan/kejahatan, ketidakpercayaan terhadap dewan rakyat atau parlimen yang dianggap tidak dapat menyuarakkan aspirasi rakyat akhirnya akan membawa kepada ketidakpercayaan terhadap pemerintahan yang dianggap gagal memecahkan kemelut masalah rakyat.
Ketidakpercayaan rakyat terhadap aparat-aparat negara tersebut disebabkan mereka dianggap telah mempermainkan moraliti, tata susila, perilaku dan akhlak. Jika demikian berlakunya, masyarakat akan beranggap bahawa apa yang dilakukan oleh penguasa kini tidak lebih dari apa yang dikatakan Lyotard di dalam bukunya Just Gaming sebagai permainan keadilan.
Oleh itu undang-undang akan dianggap tidak lebih dari sebuah ajang permainan bahasa. Untuk mengatakan benar/salah, baik/buruk, dan sebagainya, semua dilakukan melalui permainan kata-kata, yang dianggap dapat diselindung, disembunyi atau diputarbelitkan.
Penggunaan kata-kata yang dicetak akhbar seperti sedang diselidik, dalam proses pengumpulan maklumat dan bukti atau penubuhan badan dan suruhanjaya dan sebagainya merupakan suatu cara yang sekadar memperbesarkan sesuatu persoalan sampai pada suatu ketika persoalan tersebut dilupakan.
Di sinilah kita memerlukan seluruh unsur kepemimpinan yang berjiwa besar agar dapat memerhatikan kata bijaksana dari seorang cendekiawan yang juga seorang penulis iaitu bekas presiden Republik Chech, Vaclav Havel: “Adalah mustahil menulis persoalan besar tanpa hidup dalam persoalan besar itu sendiri, menjadi pemimpin agung tanpa menjadi manusia agung. Manusia (pemimpin) harus menemukan dalam dirinya sendiri rasa tanggung jawab yang besar terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab terhadap sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri”.
No comments:
Post a Comment